ORMAWA

Apa yang Hilang di Organisasi Mahasiswa?

Membahas Ormawa dengan Psikologi Industri
Penutupan Diklat Terpusat OSKM ITB 2017 (sumber: oskm.itb.ac.id/galeri)
Selama satu setengah tahun terakhir, saya banyak berkecimpung dan terlibat di dunia kemahasiswaan ITB. Banyak sekali kejadian dan masalah yang saya alami. Terdapat pola dan masalah yang kurang lebih sama di setiap ormawa. Dan entah kenapa bukannya terselesaikan, masalah ini malah semakin menjadi di tahun-tahun berikutnya. Salah satu masalah yang semakin menjadi ini adalah: partisipasi massa yang terus menurun setiap tahunnya. Kenapa? Memang apa sih yang salah? Dengan tulisan ini, saya coba bahas masalah ormawa dengan ilmu yang saya dapat di mata kuliah Psikologi Industri (TI2203). Selamat membaca!

Tentang Model Perilaku Organisasi

Model Perilaku Organisasi (sumber: Bahan Kuliah Psikologi Industri: Dinamika Kelompok)
Oke kita mulai dengan membahas tingkatan perilaku atau decision making. Tingkatan perilaku bisa kita bagi menjadi tiga: Tingkat Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi. Namun yang akan saya bahas hanya dari tingkat individu dan sebagian tingkat kelompok karena memang baru belajar sampai situ hehe.
Perilaku atau pengambilan keputusan individu dipengaruhi oleh tiga faktor: persepsi, motivasi, dan kemampuan. Pertama, apa itu persepsi? Singkatnya, persepsi adalah proses orang dalam menginterpretasikan informasi. Dan persepsi sendiri dipengaruhi oleh kepribadian yang terbentuk karena karakteristik biografi atau riwayat hidup seperti gender, usia, suku bangsa, keluarga, budaya, dan lain sebagainya. Persepsi juga dipengaruhi nilai, sikap, dan pengalaman individu.
Sementara motivasi adalah faktor dari dalam diri individu yang dapat menggerakkan seorang individu untuk melakukan sebuah tingkah laku. Motivasi dipengaruhi berbagai macam hal. Dalam melakukan sebuah tingkah laku, bisa jadi banyak motif yang mendorong individu tersebut. Motif ini tidak ada yang tahu kecuali individu itu sendiri. Kita tidak pernah tahu secara pasti motif orang dalam berbuat sesuatu itu apa.
Terakhir, kemampuan yang terus berkembang selama proses belajar seorang individu. Dalam sebuah organisasi diperlukan orang-orang yang mampu dan mau. Untuk mahasiswa, kadang sulit menemukan orang yang mampu dan mau ini. Syukur-syukur dapet yang mau. Disinilah peran penting kaderisasi, menciptakan dan mengembangkan orang menjadi mampu.

Tentang Persepsi Mahasiswa

Persepsi itu subyektif. Persepsi terhadap sesuatu itu berbeda-beda bagi masing-masing orang. Tidak ada yang tahu pasti persepsi orang lain. Tak terkecuali terhadap organisasi mahasiswa.
Persepsi mahasiswa terhadap organisasinya seringkali beragam. Semakin lama dia di sebuah organisasi, semakin berubah persepsi itu. Untuk yang akan dan baru masuk sebuah organisasi, mungkin persepsi orang itu terhadap organisasi tersebut masih bagus dan keren. Tapi lama-lama, persepsi itu berubah karena banyaknya pengalaman dan masalah yang dihadapi. Beberapa orang jadi memiliki persepsi yang buruk sehingga lebih memilih tempat lain.
NAMUN, kadang yang menjadi masalah adalah distorsi pada persepsi yang sering terjadi yakni halo-effect dan stereotyping.
“Ah ngapain ikut osjur, paling bakal di-agitasi!”
“Ah gausah dilanjutin deh, katanya kadernya lama dan keras”
“Aduh di unit ini drama mulu dah, gak dapet apa-apa”
“Ah orang-orangnya gak jelas, mending gausah ikut lagi daripada kebawa-bawa gak jelas”
“Ah palingan gak akan kuorum lagi.”
Dan lain sebagainya
Hal inilah yang sering terjadi, ketika kita menyimpulkan sebuah organisasi secara keseluruhan padahal baru melihat satu atau segelintir kejadian saja (halo-effect). Atau stereotyping, ketika kita menggeneralisasi organisasi mahasiswa sama seperti yang lain, seperti ketika kita mengatakan himpunan itu kuno, banyak tradisinya, penuh agitasi, dan lain-lain. Padahal tidak semua organisasi mahasiswa seperti itu.
Kini persepsi mahasiswa terhadap organisasi mahasiswa terus memburuk. Ormawa harus berupaya untuk mempengaruhi persepsi dari setiap anggotanya. Ormawa harus bisa berubah, fleksibel, dan beradaptasi terhadap zaman. Dari diri mahasiswa pun, distorsi-distorsi tersebut harus diminimalisir, dengan memahami dari sudut-sudut pandang yang berbeda-beda, dan tidak langsung menilai sebuah organisasi dan melompat ke kesimpulan.

Tentang Motif Mahasiswa

Motif adalah suatu pendorong atau tujuan seorang individu dalam melakukan sesuatu. Lagi-lagi, kita tidak bisa tahu secara pasti motif orang dalam melakukan sesuatu. Tak terkecuali pada organisasi mahasiswa.
Menurut Teori Tiga Motif Sosial (Mc Clelland), terdapat tiga kategori motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Tiga motif itu antara lain:
  1. Motif untuk Berprestasi (Achievement)
  2. Motif untuk Bersahabat (Affiliation)
  3. Motif untuk Berkuasa (Power)
Dalam konteks organisasi mahasiswa, mahasiswa juga mencari salah satu, salah dua, atau ketiga motif tersebut. Ada yang bergabung organisasi untuk mengembangkan diri, nambah ilmu, nambah pengalaman, dan nambah kemampuan dalam berorganisasi. Ada juga yang pengen dapet relasi, temen ngobrol, temen maen, aktivitas senang-senang, dan rasa hangat dari organisasi tersebut. Ada pula yang ingin berkuasa dan mempengaruhi orang lain, memanjat tangga sosial, dan in control terhadap organisasi tersebut. Lagi-lagi tidak ada yg tau secara pasti motif dari seseorang.
Ada juga Teori Dua Faktor (Herzberg), yang membagi motif menjadi dua faktor kepuasan dan ketidakpuasan.
Faktor kepuasan (Motivator/Satisfiers) adalah faktor-faktor yang kalau ada akan membuat kita merasa puas. Namun kalau tidak ada, hanya membuat kita tidak merasa puas. Faktor-faktor tersebut seperti penghargaan, tanggung jawab, aktivitas, kesempatan berkembang, dan keterlibatan kita dalam organisasi. Faktor ini adalah konten dari organisasi itu sendiri.
Sementara faktor ketidakpuasan (Hygiene Factor/Disastifiers) adalah faktor yang bisa dibilang basic needs. Yang tidak ada akan membuat kita merasa tidak puas, dan jika ada hanya membuat kita tidak merasa tidak puas. Faktor-faktor tersebut seperti teman-teman yang baik dan mau diajak kerja sama, kenyamanan sekre, dan rasa kekeluargaan di dalam organisasi. Faktor ini adalah konteks dari organisasi itu sendiri dan harus terpenuhi untuk menghindari anggota yang tidak puas terhadap organisasi tersebut.
Jika dilihat dari stakeholder ormawa atau pejabat-pejabat kampus, ormawa harus memenuhi segala kategori motif ini. Harus memenuhi anggota-anggota bermotif prestasi, bersahabat, maupun berkuasa agar setiap anggota tetap memiliki dorongan untuk beraktivitas di organisasi tersebut. Kalau hanya salah satu yang terpenuhi, misal bersahabat (kekeluargaan aja terus yang dijual), ya maklumi saja anggota-anggota yang ingin ngembangin diri bakal cabut dan nyari tempat lain.
Juga harus memenuhi segala faktor kepuasan dan ketidakpuasan. Kekeluargaan, teman-teman yang terbuka dan menerima, serta wadah berkegiatan dan berkarya untuk setiap anggota harus terpenuhi. Himpunan yang dingin akan menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakterikatan anggota, sementara unit yang gaada kerjaan juga bakal bikin anggotanya cabut untuk mencari kerjaan dan kepuasan.

Tentang Kekeluargaan

Kemudian yang harus kita dalami disini adalah salah satu faktor ketidakpuasan atau basic needs yang disebut-sebut kekeluargaan. Sering sekali ormawa menjual nilai atau asas kekeluargaan sebagai keunggulan mereka. Namun, nilai tersebut sebenarnya apa sih? Apakah kekeluargaan itu bisa diturunkan? Apakah kekeluargaan bisa dipaksakan dengan orientasi jurusan yang keras?
Sekarang, mari kita anggap kekeluargaan adalah perasaan dan bukan nilai. Menurut saya, kekeluargaan adalah perasaan keterikatan satu sama lain dan bukan suatu nilai yang diturunkan (atau dipaksakan). Menurut salah satu teori pembentukan kelompok, Interaction Theory (George Homans), ada tiga aspek yang saling menumbuhkan satu sama lain dalam sebuah kelompok.
  1. Semakin banyak aktivitas bersama, maka semakin besar frekuensi interaksi dan semakin kuat perasaan keterikatan dan kebersamaan.
  2. Semakin banyak interaksi, maka semakin banyak aktivitas bersama dan semakin kuat perasaan keterikatan.
  3. Semakin kuat perasaan keterikatan, maka semakin banyak aktivitasbersama dan semakin banyak interaksi.
Dari teori ini, tinggal dipilih kita mau mulai dari mana. Aktivitas, interaksi, atau perasaan? Dan seringkali organisasi kemahasiswaan memulai dengan memaksakan perasaan yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dengan tes kenal, agitasi, dan tugas-tugas wawancara, perasaan dan interaksi dalam angkatan menjadi terkesan dipaksakan. Akibatnya? Setelah masa orientasi ya kendor lagi dan ketiga aspek tersebut tidak tumbuh. Ditambah interaksi personal yang minim dengan pihak calon organisasi atau pengader, menyebabkan tidak ada rasa keterikatan dengan pengader atau organisasi ketika pertama kali dilantik anggota.
Organisasi kemahasiswaan harus merevolusi cara mereka dalam menerima anggota. Interaksi personal intra dan antar angkatan harus dibebaskan bahkan sebelum mereka dilantik. Perbanyak aktivitas bersama di masa-masa awal atau orientasi. Tumbuhkan perasaan keterikatan tanpa paksaan.

Tentang Kaderisasi Awal

Sekarang kita beranjak ke faktor terakhir pengambilan keputusan individu yaitu kemampuan. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh proses belajar individu. Proses belajar dalam organisasi istilah kerennya sih kaderisasi.
Yak mungkin bagi para mahasiswa kampus gajah sudah tidak asing lagi dengan kata kaderisasi yang hitz ini. Namun kadang muncul stereotype tentang kaderisasi, seperti kaderisasi yang berupa paksaan, pencekokan nilai, agitasi, dan lain sebagainya. Tapi nyatanya, kaderisasi jauh lebih dari itu. Kaderisasi adalah salah satu cara dalam membentuk kelompok-kelompok baru dalam sebuah organisasi. Kaderisasi juga proses transfer ilmu dari pemegang kuasa organisasi kepada penerusnya. Kaderisasi ini proses pengembangan setiap dari anggota sebuah organisasi. Kaderisasi adalah proses regenerasi sebuah organisasi.
Dari sisi ormawa, yang waktu efektif dan lifespan anggota yang sangat sedikit, ormawa harus membuat sistem kaderisasi yang efektif dan efisien agar regenerasi bisa berlangsung lancar dan ormawa tidak kehilangan “jiwa”nya seiring waktu.
Terdapat model lima tahap perkembangan kelompok (Robbin), yakni Forming, Storming, Norming, Performing, dan Adjourning.
Model Lima Tahap (sumber: Bahan Kuliah Psikologi Industri: Dinamika Kelompok)
Tahap pertama, Forming, bisa dibilang tahap awal yang ditekankan pada kaderisasi awal. Yang ditekankan atau diatur sedemikian rupa agar anggota berinteraksi dan mengenal satu sama lain. Di tahap inilah kita harus meng-encourage partisipasi dari setiap orang, memberi struktur dengan memberi peran kepada setiap anggota. Dan mengembangkan komunikasi terbuka diantara semua orang.
Tahap kedua, Storming, adalah tahap ketika masing-masing anggota masih bersifat individualis. Di tahap ini sering terjadi perbedaan pendapat antar individu dan terjadi konflik. Maka, perlu adanya metode dalam penyelesaian konflik ini.
Setelah itu, Norming, disini semua sudah tau peran masing-masing, sudah mengerti perbedaan masing-masing, dan sudah ada pemimpin dalam kelompok. Disinilah perlu ada feedback dan pikiran terbuka diantara anggota.
Tahap keempat adalah Performing, di tahap ini, kelompok sudah siap menghadapi tantangan dan diberikan proyek yang lebih besar. Masing-masing anggota juga sudah berkomitmen dan memiliki tujuan bersama. Namun disini perlu adanya apresiasi terhadap kontribusi setiap anggota dan pengembangan diri yang kontinu. Agar tidak masuk ke tahap Adjourning, atau pecahnya kelompok.
Dari sisi ormawa yang dituntut memiliki waktu regenerasi yang cepat, seringkali kaderisasi, khususnya kaderisasi awal, dipadatkan untuk setiap tahapnya. Akibatnya, proses forming yang belum sempurna, langsung dihadapkan dengan storming. Misal belum ada interaksi terbuka antar individu tapi sudah ada konflik diantara individu yang lain. Atau norming belum beres, langsung dihadapkan performing, misalnya diberi proyek dan dituntut memperoleh hasil yang optimal ketika dari kelompok tersebut belum memiliki sosok pemimpin dan norma yang mengatur peran anggota kelompok.

Tentang Kaderisasi Kontinu

Kaderisasi tidak hanya berlangsung di awal, melainkan kontinu. Ini juga yang sering dilupakan oleh ormawa. Terdapat asumsi bahwa setelah masuk sebuah organisasi, tidak ada lagi proses belajar dan pengembangan. Tapi saya akan menilik metode kaderisasi dengan teori-teori belajar.
Ada tiga teori belajar: Pengondisian Klasik, Pengondisian Instrumental, dan Modelling. Pengondisian klasik adalah proses belajar dengan asosiasi. Melatih respon individu dengan memberikan stimulus yang sudah terasosiasikan. Metode ini seringkali dilakukan saat Orientasi Jurusan, ketika kita diasosiasikan atau dibiasakan dengan stimulus berupa agitasi dan memberikan respon dengan jawaban yang kritis alias dibiasakan mikir kritis dengan cepat.
Metode lain adalah Pengondisian Instrumental dimana anggota dikondisikan untuk memberikan suatu sikap sesuai konsekuensi yang mereka inginkan. Contohnya: anggota akan terus berkarya jika diberikan konsekuensi berupa apresiasi. Anggota akan berhenti melakukan sebuah aktivitas organisasi jika dia menerima konsekuensi negatif. Disinilah peran ormawa dalam mengembangkan individu, memberikan konsekuensi yang tepat terhadap perilaku anggota, memberikan penguat eksternal. Yang penguat ini bisa berupa reward maupun punishment. Sementara penguat internal berasal dari diri individu dan tidak diberikan oleh organisasi.
Ormawa harus memahami setiap anggotanya dalam memberikan konsekuensi yang tepat. Karena tidak semua konsekuensi positif dianggap positif oleh anggota. Tidak semua konsekuensi negatif dianggap negatif oleh anggota. Ini untuk menghindarkan perilaku anggota yang tidak diinginkan oleh ormawa itu sendiri.
Metode lain adalah Modelling atau observasi. Disini anggota meniru apa yang dilakukan pengader atau anggota lain. Disini lah harus terdapat budaya baik yang kuat di ormawa sehingga melahirkan teladan-teladan yang baik untuk ditiru.
Kaderisasi yang baik juga memperlukan sistem knowledge transfer yang baik. Regenerasi yang cepat menuntut anggota untuk harus cepat belajar dari pendahulunya, juga menuntut untuk memberikan ilmu dan pengalaman kepada penerusnya dengan cepat. Hal ini juga kadang terlewatkan, ketika Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tidak disiapkan dengan serius atau anggota banyak yang tidak datang atau tidak memperhatikan saat LPJ. Juga ormawa seringkali berorientasi terhadap “gawean”. Ketika yang penting staff gawe” dalam suatu divisi tanpa tau esensi dan ilmu dibaliknya. Jangan sampai anggota ormawa sekedar gawe. Aktivitas keorganisasian harus dijadikan pembelajaran setiap detiknya.

Tentang Komunikasi

Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan adalah komunikasi. Komunikasi dalam suatu organisasi itu sangat penting namun kadang terlewatkan. Komunikasi harus mengandung pengirim pesan, pesan, penerima pesan, dan feedback, Dalam kata lain, komunikasi harus dua arah dan ini yang kadang hilang dalam ormawa.
Tak jarang komunikasi antara ketua dan anggotanya berlangsung satu arah. Tak jarang staff hanya menerima kerjaan atau perintah dari ketua divisinya. Tak jarang informasi acara himpunan hanya disebarkan via grup.
Informasi tersebut pun terabaikan. Bukan karena tidak peduli, tapi memang secara alamiah manusia bakal lebih merespon komunikasi personal. Sedangkan hasil share di grup hanyalah pemberitahuan dan bukan komunikasi ataupun ajakan. Anggota ormawa seringkali dianggap robot yang kalo dikasih informasi via grup, asumsinya bakal langsung dateng. Kenyataannya tidak, anggota tidak merasa engage ataupun terdorong sama sekali.
Inilah yang harus dibenahi ormawa pada era milenial ini. Sekarang, informasi dapat tersebar dengan efisien, tapi bukan berarti publikasi dengan tipe itu efektif dalam mendatangkan banyak orang. Perlu dibentuk sebuah budaya organisasi agar setiap anggota mengajak satu sama lain tanpa disuruh, komunikasi personal antar anggota pun terwujud dan kemungkinan datangnya massa pun lebih besar. Ketimbang hanya pemberitahuan via grup.

Tentang “Gawe

Gawean seorang anggota organisasi ditentukan oleh ukuran organisasi tersebut. Gawean akan relatif kecil atau bahkan tidak terasa ketika berada di organisasi besar yang tidak memiliki pembagian tugas yang jelas. Inilah yang disebut Social Loafing. Ketika seorang anggota akan merasa terpinggirkan dari sebuah kerjaan kelompok karena kerjaan individu anggota tersebut tidak bisa teridentifikasi alias kurang terberdayakan.
Ini seringkali dihadapi oleh organisasi yang beranggotakan banyak seperti himpunan dan unit-unit besar. Himpunan yang beranggotakan ratusan orang hanya berorientasi terhadap Badan Pengurus yang jumlah divisinya relatif sedikit. Sehingga, jumlah orang dalam satu divisi menjadi banyak, lebih dari kebutuhan. Jumlah anggota divisi yang banyak itu menyebabkan jobdesc dari divisi itu tidak terbagi secara rata dan underload untuk beberapa anggota. Akibatnya, anggota pun tidak “gawe”, bosan, tidak terberdayakan, dan memilih tempat lain.
Organisasi mahasiswa harus membuat sistem yang efektif dimana seluruh anggota dapat terberdayakan. Hal ini dapat diantisipasi dengan membuat proyek-proyek berkelompok kecil yang idealnya 3–5 orang agar semua orang dapat bekerja dengan optimal. Mungkin juga bisa diantisipasi dengan kepanitiaan dan kegiatan yang memerlukan massa banyak secara kontinu. Sehingga kesibukan anggota tidak bersifat eventual.
Untuk ormawa yang minim anggota, harus menyesuaikan pekerjaan agar tidak overload. Anggota yang memiliki gawean yang bejibun akan menyebabkan kelelahan dan membuat anggota itu cabut atau “hilang” dari organisasi yang bersangkutan.

Kesimpulan

Untuk mengantisipasi masalah utama ormawa saat ini yaitu partisipasi massa yang terus menurun setiap tahunnya, ini yang harus dilakukan sebuah organisasi mahasiswa:
  1. Berupaya mengubah persepsi dari mahasiswa dengan berubah, fleksibel, dan beradaptasi dengan perkembangan zaman
  2. Memenuhi segala jenis motif dan dua faktor kepuasan dari anggotanya
  3. Merevolusi cara mereka dalam menerima anggota
  4. Membuat sistem kaderisasi dan knowledge transfer yang efektif dan efisien
  5. Memberikan konsekuensi atau penguat eksternal yang tepat untuk setiap perilaku anggota
  6. Mengubah mindset bahwa organisasi gak sekedar gawe melainkan tempat belajar yang kontinu
  7. Membentuk budaya baik untuk apresiasi dan berkomunikasi secara personal
  8. Membuat sistem organisasi yang efektif agar setiap anggota terberdayakan
Idealnya sih seperti ini, tapi apalah dunia ini yang jauh dari ideal. Lagipula, mahasiswa masih harus belajar banyak juga kan? Hehe
Mungkin sekian tulisan saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan. Bila punya pendapat lain atau ingin diskusi bisa hubungi saya via line (thariqizzah) atau medium juga boleh.
Semoga dengan tulisan ini pembaca mendapat insight baru dalam dunia kemahasiswaan. Semoga organisasi mahasiswa terus berkembang dan senantiasa memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya. Aamiin
Salam hangat,
Thariq Izzah Ramadhan
Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Anggota (PSDA)
Pers Mahasiswa ITB
Referensi:
Robbins, S. P. , & Judge, T.A. (2013). Organizational Behavior 15th ed. HarlowPearson Education Limited
Bahan Kuliah Psikologi Industri (TI2203) Tahun Ajaran 2017–2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Filsafat Umum (Dimensi Ilmu)

Mujahadah Kubro

Cara Berfikir Kritis